Jumat, 26 April 2013

TUGAS PATOLOGI PROSES PERADANGAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
            Ada suatu kecenderungan alamiah yang menganggap peradangan sebagai sesuatu yang tidak diinginkan, karena peradangan dapat menyebabkan keadaan yang menggelisahkan. Tetapi peradangan sebenarnya adalah gejala yang menguntungkan dan pertahanan, yang hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang, penghancuran jaringan nekrosis, dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan.
            Sifat menguntungkan dari reaksi peradangan secara drmatis diperlihatkan dengan apa yang terjadi jika penderita tidak dapat menimbulkan reaksi peradangan yang dibutuhkan. Misalnya, jika diperlukan memberikan dosis tinggi  obat-obatan yang mempunyai efek samping yang menekan reaksi peradangan. Dalam hal ini, , ada peluang besar timbulnya infeksi yang sangat hebat, penyabaran yang cepat atau infeksi yang mematikan, yang disebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya tidak berbahaya.
            Reaksi peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang terkoodinasi dengan baik yang dinamis dan kontinyu. Untuk menimbulkan reaksi peradangan, maka jaringan harus hidup dan khususnya harus memiliki mikrosirkulasi fungsional. Jika jaringan yang nekrosis luas, maka reaksi jaringan tidak ditemukan ditengah jaringan, tetapi pada tepinya, yaitu antara jaringan mati dan jaringan hidupdengan sirkulasi yang utuh. Juga jika cidera yang langsung mematikan hospes, maka tidak ada petunjuk adanya reaksi peradangan, karena untuk timbulnya reaksi peradangan diperlukan waktu.
            Sebab-sebab peradangan banyak sekali dan beraneka ragam, dan penting sekali untuk diketahui bahwa peradangan dan infeksi itu tidak bersinonim. Dengan demikian, maka infeksi (adanya mikrooganisme hidup dalam jaringan) hanya merupakan salah satu penyebab dari peradangan. Peradangan dapat terjadi denagan mudah steril sempurna, seperti waktu sebagian jaringan mati karena hilangnya suplai darah. Karena banyaknya keadaan yang mengakibatkan peradangan, maka pemahaman proses ini merupakan dasar bagi ilmu biologi dan kesehatan. Tanpa memahami proses ini, orang tidak dapat memahami prinsip-prinsip penyakit manular, pembedahan, penyembuhan luka, dan respon terhadap berbagai trauma atau prinsip-prinsip bagaimana tubuh menanggulangi bencana kematian jaringan, sperti stroke, serangan jantung dan sebagainya.
            Walaupun ada banyak sekali penyebab peradangan dan ada berbagai keadaan dimana dapat timbulnya peradangan, kejadiannya secara garis besar cenderung sama, hanya saja pada pada berbagai jenis peradangan terdapat perbedaan secara kuanntitatif. Oleh karena itu, reaksi peradangan dapat dipelajari sebagai gejala umum dan memperlakukan perbedaan kuantitatif secara sekunder.


B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian peradangan
2.      Gambaran makroskopis peradangan akut
3.      Aspek cairan pada peradangan
4.      Aspek seluler dari peradangan
5.      Jenis dan fungsi leukosit
6.      Bentuk peradangan
7.      Faktor-faktor yang mempengaruhi peradangan dan penyembuhan
8.      Aspek sistemik dari proses peradangan
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian  Peradangan
            Bila sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cidera atau mati, selama hospes tetap hidup, ada respon yang mencolok pada jaringan hidup disekitarnya, respon tersebut itulah yang dinamakan dengan peradangan.
Secara khusus, peradangan adalah reaksi vaskuler yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat terlarut pada sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial pada daerah cidera atau nekrosis.
                                                     
B.     Gambaran Mikroskopis Peradangan Akut
            Peradangan akut adalah respon langsung dari tubuh terhadap cideraatau kematian sel. Gambaran mikroskopis peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau dan masih dikenal sebagai tanda-tanda pokok peradangan yang mencakup kemerahan (rubor), panas (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad sekarang ini, yaitu perubahan fungsi
(function laesa).

1.      Rubor (kemerahan)
            Rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol yang mensuplai daerah daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih bannyak darah mengalir kedalam mikrosirkulasi local. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat akan terisi oleh darah. Keadaan ini yang dinamakan hyperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh, baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamine.


2.      Kalor (panas)
            Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Sebenarnya panas merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 370 C, yaitu suhu dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah (pada suhu 37 C) yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena lebih lebih banyak dari pada yang disalurkan kedaerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh didalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 370 C dan hyperemia tidak menimbulkan perubahan.

3.      Dolor (nyeri)
            Dolor dari reaksi peradangan dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya, bahan pH lokal atau kongesti lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya juga dapat merangsang sel-sel saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang juga dapat mengakibatkan penigkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi juga dapat menimbulkan nyeri.

4.      Tumor (pembengkakan)
            Segi paling mencolok dari peradangan akut mungkin adalah pembengkakan lokal (tumor). Pembengkakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah kejaringan-jaringan interstisial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun paada daerah peradangan disebut eksudat, pada keadaan dini reaksi peradangan , sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit meninggalkan aliaran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat.



5.      Function laesa (perubahan fungsi)
            Adalah reaksi peradangan yang telah dikenal, sepintas lalu mudah dimengerti, mengapa bagian yang bengkak, nyeri disertai denagn sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi yang abnormal, berfungsi juga secara abnormal. Namun sebetulnya kita tidak mengetahui secara mendalam dengan cara apa fungsi jaringan yang meradang itu terganggu.


C.    Aspek Cairan pada Peradangan
            Biasanya dinding saluran darah yang terkecil (kapiler dan venula) memungkinkan molekul-molekul kecil lewat, tetapi akan menahan molekul-molekul yang besar seperti protein plasma untuk tetap didalam lumen pembuluh. Sifat pembuluh yang semipermeabel ini menyebabkan gaya osmotik yang cenderung untuk menahan cairan dalam pembuluh. Hal ini juga diimbangi oleh dorongan keluar dari tekanan hidrostatik didalam pembuluh. Pergeseran cairan dalam reaksi peradangan sangat cepat. Eksudat dari peradangan luka bakar akibat cidera termal mengandung protein plasma yang cukup berarti. Jadi, peristiwa penting dari peradangan akut adalah perubahan permeabilitas pembuluh-pembuluh yang sangat kecil yang menyebabkan kebocoran protein dan diikuti pergeseran keseimbangan osmotik dan air keluar bersama protein, sehingga menimbulkan pembengkakan jaringan. Dilatasi arteriol yang menimbulkan hiperemia lokal dan kemerahan juga mengakibatkan kenaikan tekanan intravaskuler lokal, karena pembuluh darah penuh.
            Dalam sistem limfatik, biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam saluran limfe jaringan dan limfe yang terbentuk dibawa kesentral dalam badan dan bergabung kembali kedarah vena. Daerah yang terkena radang biasanya terjadi kenaikan yang mencolok pada aliran limfe daerah tersebut. Selama peradangan akut, tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama seperti pada sistem vaskuler darah.
Tetapi sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan, karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat.
Bila pembuluh limfe terkena radang, disebut dengan limfangitis dan jika kelenjar limfe yang terkena radang, maka disebut dengan limfadenitis. Limfadenitis regional sering menyertai peradangan, salah satu contoh yang terkenal adalah pembesaran kelenjar limfe servikal, yang nyeri terlihat pada tonsillitis.

D.    Aspek Seluler pada Peradangan
1.      Marginal dan Emigrasi
Pada awal peradangan akut, waktu arteriol berdilatasi, aliran darah radang bertambah, namun sifat aliran darah segera berubah. Hal ini disebabkan karena cairan bocor keluar dari mikrosirkulasi yang permeabilitasnya bertambah. Sejumlah besar dari eritrosit, trombosit dan leukosit ditinggalkan, dan viskositas naik, sirkulasi didaerah yang terkena radang menjadi lambat. Hal menyebabkan leukosit akan mengalami marginasi, yaitu bergerak kebagian arus perifer sepanjang aliran pembulh darah, dan mulai melekat pada endotel. Akibatnya pembuluh darah tampak seperti jalan berbatu, peristiwa ini disebut dengan emigrasi.

2.      Kemotaksis
Pergerakan leukosit pada interstisial dari jaringan yang meradang, waktu mereka sudah beremigrasi, merupakan gerakan yang bertujuan. Hal ini disebabkan adanya sinyal kimia. Fenomena ini disebut dengan kemotaksis.

3.      Mediator peradangan
Banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen, yang dikenal dengan substansi dari peradangan.
Mediator dapat digolongkan kedalam beberapa kelompok:
·         Amina vasoaktif
·         Substansi yang dihasilkan oleh sistem enzim plasma
·         Metabolit asam arakhidona
·         Berbagai macam produk sel

4.      Histamine
Amina vasoaktif yang terpenting adalah histamin, yang mampu menghasilkan vasodilatasi dan penigkatan permeabilitas vaskuler. Sebagian besar histamin disimpan dalam sel mast yang tersebar luas dalam tubuh.

5.      Factok-faktor plasma
Plasma darah adalah sumber yang kaya akan sejumlah mediator penting. Agen utama yang mengatur sistem ini adalah faktor Hageman (faktor XII), yang berada dalam plasma, dalam bentuk tidak aktif dan dapat diaktifkan oleh berbagai cidera.

6.       Metabolit asam arakhidonat
Berasal dari banyak fosfolipid membrane sel, ketika fosfolipid diaktifkan oleh cidera atau mediator lain. Asam arakhidonat dapat dimetabolisasikan dalam dua jalur yang berbeda, yaitu jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase, menghasilkan sejumlah prostaglandin, trombokson dan leukotrin.


E.     Jenis dan Fungsi Leukosit
a.      Granulosit
Granulosit terdiri dari netrofil, eosinofil dan basofil, masing-masing memiliki granula dalam sitoplasma.
Sel-sel pertama yang timbul dalam jumlah besar didalam eksudat adalah netrofil. Netrofil mampu bergerak aktif seperti amoeba dan mampu menelan berbagai zat (fagositosis).
      Eosinofil memberikan respon terhadap  rangsangan kemotaktik khas tertentu pada reksi alergi dan mengandung zat-zat yang toksik terhadap parasi-parasit tertentu dan zat-zat yang memperantarai peradangan.
      Basofil berasal dari sumsum tulang seperti granulosit lainnya. Basofil darah dan sel mast jaringan dirangsang untuk melepaskan kandungan granulanya kedalam lingkungan sekitarnya pada berbagai keadaan cidera, baik rekasi imunologis maupun reaksi nonspesifik.

b.      Monosit
Merupakan bentuk monosit yang berbeda dari granulosit, karena susunan morfologi intinya dan sift sitoplasmanya yang relatif agranular. Sel yang sama, yang terdapat dalam pembuluh darah disebut juga dengan monosit, dan jika terdapat dalam eksudat, disebut dengan makrofag.
Makrofag mempunyai fungsi yang sama denganfugsi netrofil polimorfonuklear, dimana makrofag adalah sel yang bergerak aktif yang memberi respon terhadap rangsang  kemotaksis, fagosit aktif dan mampu mematikan serta mencerna berbagai agen.

c.       Limfosit
Umumnya terdapat pada eksudat dalam jumlah yang sangat kecil, dalam waktu yang cukup lama, yaitu sampai reaksi peradangan menjadi kronik.
Leukosit yang telah dimobilisasi tidak hanya menangkap mikroba yang menyerbu, tetapi juga menghancurkan sisa jaringan hingga proses perbaikan dapat dimulai.


F.     Bentuk Peradangan
1.      Eksudat nonseluler
·         Eksudat serosa
Jenis eksudat nonseluler yang paling sederhana adalah eksudat serosa, yang pada dasarnya terdiri dari protein yang bocor dari pembuluh-pembuluh darah saat radang. Contoh eksudat serosa adalah cairan luka melepuh. Pengumpulan yang disebabkan oleh tekanan hidrostatik, bukan disebabkan oleh peradangan, disebut dengan transudat.



·         Eksudat fibrinosa
Terbentuk jika protein yang dikeluarkan dari pembuluh dan terkumpul pada daerah peradangan yang mengandung banyak fibrinogen. Eksudat fibrinosa sering dijumpai diatas permukaan serosa yang meradang.
·         Eksudat misinosa
Jenis eksudat ini hanya dapat terbentuk diatas membrane mukosa, dimana terdapat sel-sel yang dapat mensekresi musin. Eksudat ini merupakan sekresi sel, bukan dari bahan yang keluar dari pembuluh darah. Contoh eksudat ini adalah pilek yang disertai berbagai infeksi pernapasan bagian atas.

2.      Eksudat seluler
·         Eksudat netrofilik
Disebut juga dengan purulen yang terbentuk akibat infeksi bakteri. Infeksi bakteri sering menyebabkan konsentrasi netrofil yang luar biasa tingginya didalam jaringan, banyak dari sel-sel ini mati dan membebaskan enzim-enzim hidrolisis yang kuat kesekitarnya.
·         Eksudat campuran
Campuran eksudat seluler dan nonseluler, dinamakan sesuai dengan campurannya. Misalnya, eksudat fibrinopurulen terdiri dari fibrin dan netrofil polimorfonuklear.

3.      Peradangan granulamatosa
Jenis radang ini ditandai dengan pengumpulan makrofag dalam jumlah besar dan pengelompokannya menjadi gumpalan nodular yang disebut granuloma.


G.    Faktor yang Mempengaruhi Peradangan dan Penyembuhan
Seluruh proses peradangan bergantung pada sirkulasi yang utuh kedaerah yang terkena. Jadi, jika ada defisiensi suplai darah kedaerah yang terkena, maka proses peradangannya sangat lambat, infeksi yang menetap dan penyembuhan yang jelek.
Banyak faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka atau daerah cidera atau daerah peradangan lainnya, salah satunya adalah bergantung pada poliferasi sel dan aktivitas sintetik, khususnya sensitif terhadap defisiensi suplai darah lokal dan juga peka terhadap keadaan gizi penderita.
Penyembuhan juga dihambat oleh adanya benda asing atau jaringan nekrotik dalam luka, oleh adanya infeksi luka dan immobilisasi yang tidak sempurna.
Komplikasi pada penyembuhan luka kadang-kadang terjadi saat proses penyembuhan luka. Jaringan parut mempunyai sifat alami untuk memendek dan menjadi lebih padat, dan kompak setelah beberapa lama. Akibatnya adalah kontraktur yang dapat membuat dareah menjadi cacat dan pembatasan gerak pada persendian.
Komplikasi penyembuhan yang kadang-kadang dijumpai adalah amputasi atau neuroma traumatik, yang secara sederhana merupakan poliferasi regeneratif dari serabut-serabut saraf kedalam daerah penyembuhan dimana mereka terjerat pada jaringan parut yang padat.


H.    Aspek Sistemik dari Peradangan
Demam adalah fenomena umum yang sering terjadi sejajar dengan proses peradangan lokal, yang manular maupun yang tidak manular. Penyebab demam adalah dilepaskannya pirogen endogendari netrofil dan makrofag. Zat-zat ini mempengaruhi pusat pengaturan suhu dihipotalamus. Hal lain yang mencolok yang mengikuti proses peradangan lokal adalah perubahan-perubahan hematologis yang biasa ditemukan.
Rangsangan yang berasal dari pusat peradangan yang mempengaruhi proses pendewasaan (maturasi) dan pengeluaran leukosit dari sumsum tulang yang mengakibatkan kenaikan jumlah suatu leukosit, kenaikan ini disebut dengan leukositas. Pada cidera yang hebat, gejala berupa malaise, anoreksia dan ketidakmampuan melakukan sesuatu yang beratnya berbeda-beda, bahkan sampai tidak berdaya melakukan apapun.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa radang bukanlah suatu penyakit, melainkan manifestasi dari suatu penyakit.  Dimana radang merupakan respon fisiologis lokal terhadap cidera jaringan. Radang dapat pula mempunyai pengaruh yang menguntungkan, selain berfungsi sebagai penghancuran mikroorganisme yang masuk dan pembuatan dinding pada rongga akses, radang juga dapat mencegah penyebaran infeksi. Tetapi ada juga pengaruh yang merugikan dari radang, karena secara seimbang radang juga memproduksi penyakit. Misalnya, abses otak dan mengakibatkan terjadinya distori jaringan yang permanen dan menyebabkan gangguan fungsi.

B.     Saran
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Dengan membaca dan mempelajari isi makalah ini, diharapkan pengetahuan pembaca tentang radang dapat bertambah, serta mengerti tentang akibat dan pengaruh yang disebabkan oleh radang itu sendiri. Penulis menyadari bahwapenulisan makalah ini belum sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan saran  yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi perbaikan penulisan yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Price, sylvia A dan Wilson Lorraine M. 1995. Potofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4, Buku 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Tambayong, dr. Jan.2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
J. Corwin, Elisabeth. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Kamis, 18 April 2013

ASKEP DEMAM TYPHOID


A. KONSEP MEDIS
1. Pengertian 
Ø Demam typhoid adalah suatu penyakit infeksi pada usus halus yangmenimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Thyposa,Salmonella Parathypi A,B,dan C.
Ø Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
2. Etiologi
Demam typhoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja. Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas.

3. Manifestasi Klinik
1. Masa tunas demam thypoid berlangsung 10-14 hari.
2. Minggu I : Keluhan dan gejala-gejala dengfan penyakit infeksi akut padaumumnya demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,mual, muntah, konstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut,batuk dan epistaksis, pada pemeriksaan hanya didapatkan peningkatan suhu badan.
3. Minggu II : Gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,bradikardi relatif,lidah khas (kotor di tengah,tepi dan ujung merah dan tremor),hepatomegali,splenomegali,gangguan mental berupa samnolen,strupor,koma,delirion/psikos.
4. Patifisiologi
        Demam tifoid adalah penyakit yang penyebarannya melalui saluran cerna (mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar, dstnya). S. typhi masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar. Cara penyebarannya melalui muntahan, urin, dan kotoran dari penderita yang kemudian secara pasif terbawa oleh lalat (kaki-kaki lalat). Lalat itu mengontaminasi makanan, minuman, sayuran, maupun buah-buahan segar. Saat kuman masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam lambung dan sebagian kuman masuk ke usus halus. Dari usus halus itulah kuman beraksi sehingga bisa ” menjebol” usus halus. Setelah berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain).Jika demikian keadaannya, kotoran dan air seni penderita bisa mengandung kuman S. typhi yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan atau pun minuman yang dicemari. Pada penderita yang tergolong carrier (pengidap kuman ini namun tidak menampakkan gejala sakit), kuman Salmonella bisa ada terus menerus di kotoran dan air seni sampai bertahun-tahun. S. thypi hanya berumah di dalam tubuh manusia. Oleh kerana itu, demam tifoid sering ditemui di tempat-tempat di mana penduduknya kurang mengamalkan membasuh tangan manakala airnya mungkin tercemar dengan sisa kumbahan.
Sekali bakteria S. thypi dimakan atau diminum, ia akan membahagi dan merebak ke dalam saluran darah dan badan akan bertindak balas dengan menunjukkan beberapa gejala seperti demam. Pembuangan najis di merata-rata tempat dan hinggapan lalat (lipas dan tikus) yang akan menyebabkan demam tifoid.

5. Penatalaksanaan

     Pengobatan penderita Demam Typhoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif meliputi istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien. Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid perlu diberikan pada renjatan septik.
BKONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
o Peningkatan suhu tubuh
Kelelahan
o Nafsu makan menurun
Perut kembung,konstipasi
o Nyeri abdomen,mual,muntah,sakit kepala
o Lidah kotor
2. Diagnosa Keperawatan 
a. Gangguan peningkatan suhu tubuh b/d invasi kuman ke usus halus
b. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d proses infeksi pada usus halus
 c. Gangguan istrahat tidur b/d peningkatan suhu tubuh
d. Gangguan rasa nyaman, nyeri b/d kerusakan mukosa usus
3.Intervensi
a. . Gangguan peningkatan suhu tubuh b/d invasi kuman ke dalam usus halus
Tujuan : - Badan teraba tidak panas lagi
- Suhu tubuh normal (36-37˚C)
- Ekspresi wajah ceria

Intervensi :
* Mengobservasi TTV terutama suhu tubuh tiap 2 jam
Rasional : Pada pasien thypoid ,TTV dapat meningkat secara tiba-tibakhususnya suhu tubuh
* Kompres air hangat
Rasional : Terjadi dilatasi pembuluh darah dan pori-pori kulit sehingga panas tubuh dapat menurun
* Menganjurkan klien banyak minum air putih
Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.
* Menganjurkan klien untuk memakai pakaian yang tipis dan menyerap
Rasional : Dapat mengurangi rasa gerah dan mempercepat proses pertukaran udara disekitarnya
* Mengatur ventilasi ruangan
Rasional : Suhu ruangan yang rendah dan suhu tubuh yang meningkat menyebabkan terjadinya konveksi
2. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d proses infeksi pada usus halus
Tujuan : - Porsi makan dihabiskan
- Klien mengatakan nafsu makan meningkat
- Tidak ada mual dan muntah
Intervensi :
* Mengkaji pola makan tiap hari
Rasional : Mengetahui kebutuhan nutrisi klien
* Memberikan makanan lunak
Rasional : Mencukupi kebutuhan nutrisi tanpa memberi beban yang tinggi pada usus
* Menganjurkan menjaga kebersihan oral/mulut
Rasional : Menghilangkan rasa tidak enak pada mulut/lidah,dan dapat meningkatkan nafsu makan
* Memberikan makanan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : Untuk mencukupi kebutuhan nutrisi dan mencegah mual dan muntah
3. Gangguan istirahat tidur b/d peningkatan suhu tubuh
Tujuan : - Konjungtiva tidak pucat
- Klien nampak segar
- Klien tidur 6-8 jam
- Klien mengatakan tidurnya nyenyak/pulas
Intervensi :
* Mengkaji pola istirahat klien
Rasional : Untuk mengetahui pola istirahat klien sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya
* Menganjurkan tekhnik distraksi sebelum tidur seperti nonton TV,membaca buku
Rasional : Dapat mengalihkan perhatian dari rasa ketidaknyamanan sehingga klien dapat tidur pulas
* Menciptakan lingkungan yang tenang/nyaman untuk istirahat dengan membatasi pengunjung
Rasional : Menurunkan stimulasi nyeri
* Memberikan HE pada klien dan keluarga tentang pentingnya istirahat cukup (6-8 jam)
Rasional : Memberikan motivasi klien untuk meningkatkan istirahat tidur
4. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d kerusakan mukosa usus
Tujuan : - Klien tidak nampak meringis
- Ekspresi wajah ceriaIntervensi :
* Mengkaji tingkat nyeri klien
Rasional : Mengetahui karakteristik nyeri dan sebagai indikator dalam intervensi selanjutnya.
* Mengobservasi TTV klien
Rasional : Nyeri adalah rangsangan sensori yang dapat mempengaruhi TTV terutama nadi dan suhu tubuh
* Menganjurkan tekhnik relaksasi napas dalam
Rasional : Dapat mengurangi nyeri
* Mengkolaborasi pemberian analgetik
Rasional : Dapat menghambat rangsangan nyeri

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddart.2002Buku Ajar Ilmu Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 .EGC,Jakarta.
Doenges,Marylin,E.2000Rencana Asuhan Keperawatan. Penerbit EGC,Jakarta.
Markel E.K,Vaye M.1981Medikal Parasitologi. Citra Aditya Bakti.